Pajabu Parsahapan, Maralop dan Ria Raja Dalam Adat Simalungun [Part 3 of 4]
Pajabu parsahapan, Maralop dan Ria/Tonggo raja adalah serangkaian acara adat Simalungun yang diadakan serentak oleh warga Simalungun yang berdomisili di kota-kota besar. Ketiga acara ini umumnya dilaksanakan pada hari yang sama dengan acara Marpadan. Dan, sebagai syarat utama agar bisa melaksanakan pamasu-masuon di GKPS.
Makna Pajabu parsahapan
Pajabu parsahapan sama dengan patampei parsahapan. Atau dalam bahasa Toba disebut Marhori-hori dinding. Artinya adalah menyampikan keinginan pihak (orang tua dan keluarga) laki-laki untuk meminang seorang putri yang berasal dari suku Simalungun, untuk dijadikan menantu. Jadi, dalam hal ini yang didatangi adalah keluarga perempuan.
Lagi dalam pembicaraan tersebut, pihak laki-laki pada umumnya langsung menanyakan mahar (Boli ni boru) yang diminta oleh keluarga perempuan. Jika telah sepakat, maka akan dibicarakan pula acara adat yang akan dilaksanakan. Antara lain mengenai tanggal, dan tempat pemberkatan pernikahan (pamasu-masuon).
Acara maralob
Maralob pada umumnya di kampung dilaksanakan seminggu sebelum acara Marpadan marhajabuan. Adalah merupakan kelanjutan dari apa yang telah disepakati pada saat pajabu parsahapan. Dimana pihak laki-laki menjemput calon pengantin perempuan, dan diserahkan kepada salah satu keluarga majelis jemaat GKPS.
Di kota-kota besar pulau Jawa. Seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Acara ini pada umumnya dilaksanakan secara simbolik saja. Selain tidak melibatkan majelis jemaat lagi, juga antara Pajabu parsahapan dan Maralob sudah dilaksanakan pada tempat dan waktu yang sama.
Namun demikian esensi adat Simalungun yang terkandung didalamnya tetap dijalankan. Hal tersebut terlihat dari perangkat adat yang digunakan tetap sama. Misalnya dengan menghadirkan Raja Parhata (pemandu acara adat) dari kedua belah pihak.
a. Perlengkapan acara Pajabu parsahapan dan Maralob
Karena acara kedua acara ini dilaksanakan pada waktu yang sama, maka perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak keluarga laki-laki dan perempuan adalah:
- Dayok binatur, kurang lebih 20 ekor
- Nasi dan lauk pauk (jagal rambingan)
- Air minum
- Demban (daun sirih)
- Pinang yang telah dibelah
- Gambir
- Timbaho
- Kapur sirih
- Bulung ni rih
- Pinggan (piring keramik)
- Boras tenger
- Tandok = 1 buah
- Bahul-bahul = 1 buah
- Bulung tinapak ±30 lembar
- Tapongan
- Tombuan
- Sejumlah uang
b. Jumlah uang dalam adat Simalungun
Selain untuk mahar, uang dalam adat Simalungun juga digunakan pada saat menyampaikan undangan kepada kerabat dekat. Misalnya pihak Tondong (paman). Kemudian saat acara Pajabu parsahapan dan Maralob adalah untuk Batu Demban. Seperti Demban pajabu parsahapan, Demban salpu mangan, Demban partadingan, Demban panusut, dan Kahkah tohang.
Bilangan uang dalam adat Simalungun berbeda dengan adat Toba dan Karo. Adat Simalungun adalah Rp 6.000,-; Rp 12.000,-; Rp 24.000,-; dan Rp 48.000,-. Selebihnya tidak terbatas. Namun tetap dengan buntut yang sama dengan ketentuan tersebut. Misalnya Rp 124.000,-; Rp 548.000,- atau Rp 1.212.000,-.
Implementasi untuk Demban partadingan misalnya. Pembagian uang adalah sebagai berikut:
- Tondong @ Rp 48.000,-
- Sanina (bapa tua/bapa anggi), Anak boru jabu & Anak boru sanina @ Rp 24.000,-
- Amboru, boto, pariban, boru & bere @ Rp 12.000,-
- Hadirin @ Rp 6.000,-
Acara Ria/Tonggo raja
Ria raja artinya permuswaratan yang dilakukan oleh keluarga besar calon pengantin perempuan, untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pada acara pamasu-masuon yang berlangsung di gereja, maupun pada saat acara adat di gedung. Sedangkan Tonggo raja artinya adalah oleh pihak keluarga calon pengantin laki-laki.
Di kota-kota besar, acara ini selalu dilaksanakan setelah acara Maralob. Artinya tetap pada tempat dan waktu yang sama ketika kedua belah pihak (Paranak dan Parboru) melaksanakan Pajabu parsahapan dan Maralob.
Sebenarnya rangkaian acara pernikahan yang benar dalam adat Simalungun, dan masih diterapkan hingga kini di kampung halaman (Sumatera Utara) adalah:
- Pajabu parsahapan
- Maralob
- Marpadan marhajabuan di gereja
- Ria/Tonggo raja
- Pamasu-masuon di gereja
- Pesta (Horja) adat di gedung
Acara yang sering digabung dalam hari yang sama adalah poin 3 dan 4. Lalu, poin 5 dan 6. Sementara poin 1 dan 2 adalah pada hari yang berbeda. Dengan demikian dibutuhkan 4 hari untuk melaksanakan 6 rangkaian acara tersebut.
i. Peserta
Pihak yang pantas hadir dalam acara Ria/Tonggo raja adalah:
- Suhut dan paidua suhut (suhut kedua)
- Sanina, bapa anggi, bapa tua
- Boru/Polu
- Panagolan
- Namaposo
- Hasoman sahuta
ii. Topik pembahasan
Bilamana pernikahan dilakukan di kota, maka hal-hal yang dibahas saat Ria/Tonggo raja adalah:
- Jumlah undangan umum dan undangan adat
- Jarak gereja ke gedung resepsi
- Menetapkan waktu memakai gedung
- Ketersediaan kursi dan meja
- Dokumentasi dan dekorasi
- Tortor mangalo-alo pengantin dan tondong
- Perlengkapan adat
- Jumlah ulos Suhi Ampang Na Opat
- Konsumsi dan penanggungjawabnya
- Musik dan sebagainya.
Adapun pembahasan yang bersifat semi privat antara lain:
- Ulak ni tandok, ikan mas dan ulos
- Napadaskon ulos suhi ampang na opat
Keuntungan melaksanakan 3M pada hari yang sama
Istilah 3M berasal dari bahasa Toba. Adalah kepanjangan dari Marhori-hori dinding, Maralob, dan Martonggo raja. Dalam bahasa Simalungun sama dengan Pajabu Parsahapan, Maralop dan Ria/Tonggo Raja. Di kota 3 prosesi ini dibuat bersamaan dengan acara Marpadan Marhajabuan karena jarak domisili sangat berjauhan.
Maka dari itu diterapkan metode 3M dengan tujuan agar:
- Terhindar dari kemacetan di jalan raya
- Hemat biaya, waktu dan tenaga
- Undangan yang hadir banyak
Sementara itu, kekurangan 3M adalah adat Simalungun yang dijalankan terkesan formalitas. Sehingga generasi muda yang lahir di kota tidak memahami makna adat tersebut. Dan, akhirnya apatis dengan keberadaan adat Simalungun. Oleh sebab itu penulis mencoba melestarikan adat Simalungun melalui sebuah tulisan.
[Disclaimer] Implementasi adat istiadat Simalungun
Acara adat pajabu parsahapan, maralop dan ria raja ini kami laksanakan di kota Semarang, bulan Juni 2024 lalu. Yaitu antara marga Haloho dengan boru Purba. Sang Pria adalah warga jemaat GKPS, sedangkan perempuan adalah jemaat GBI. Namun kedua belah pihak sepakat mengadakan pernikahan di GKPS dan adat Simalungun.
Penting diketahui, dalam acara tersebut penulis adalah bertugas sebagai Anak Boru Jabu (ABJ) dari pihak keluarga Purba (Parboru). Padahal tugas pelayanan di GKPS adalah sebagai sekretaris jemaat. Sangat kompleks bukan?.
Penulis menyadari, tidak menutup kemungkinan perangkat yang digunakan dalam acara Pajabu parsahapan dan Maralop antara wilayah yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Demikian pula cara penyampaiannya. Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa adat Simalungun sangat kaya, dan pelaksanaannya sangat dinamis.
Namun demikian, upacara adat Simalungun di daerah asal. Misalnya Pematang Raya, Pematang Siantar, Saribu Dolok, Sindar Raya dan sekitarnya masih tetap terjaga keasliannya. Sehingga lebih khusuk dan bermakna. Oleh sebab itu penulis memberi saran, tetap lah konsultasi dengan pemuka-pemuka adat di daerah tersebut lebih dulu. Sebelum melaksanakan adat Simalungun di kota. Horas!.
Posting Komentar untuk "Pajabu Parsahapan, Maralop dan Ria Raja Dalam Adat Simalungun [Part 3 of 4]"