Pendekatan Teologis Tentang Injil, Adat Dan Masyarakat Global
Era globalisasi di akui atau tidak telah memberi dampak buruk terhadap perkembangan gereja-gereja suku. Dimana pola hidup umat telah mengarah pada hal-hal yang sangat modern, praktis dan instan. Hal tersebut tidak hanya terjadi di kota, namun juga daerah asal gereja suku.
Indikasi pergeseran tersebut terlihat dari semangat kesukuan, dan nilai-nilai adat serta budaya yang melekat dengan gereja sudah mulai di tinggalkan. Dengan alasan tidak relevan lagi, terlalu kaku, butuh biaya besar dan sebagainya. Padahal awalnya dianggap sebagai unsur penting dalam pengembangan gereja.
Hubungan Injil dan adat pada gereja suku mula-mula
Tujuan mendirikan gereja suku mula-mula, selain untuk memudahkan pekabaran Injil, juga untuk melestarikan warisan (adat dan budaya) yang telah terbentuk jauh sebelum Injil masuk ke wilayah suku tersebut. Apakah itu salah?. Tentu tidak!. Sebab, Alkitab tidak pernah melarang umat melaksanakan adat/budaya.
Justru dengan adanya unsur kesukuan, metode pengajaran Injil semakin erat dengan kehidupan masyarakat. Sehingga mudah diterima, dan dilaksanakan semua lapisan masyarakat itu.
Kaitannya peran Injil dalam adat, dan posisi adat dalam Injil akan kami bahas pada kesempatan yang berbeda. Hal tersebut membutuhkan kajian lebih dalam. Sebab berhubungan erat dengan hukum adat yang tidak tertulis. Sementara topik ini, fokus pada pendekatan teologis saja. Dihubungkan juga dengan fenomena globalisasi yang telah berkembang pesat.
Pengertian adat dan perannya dalam masyarakat Kristen
Menurut Ensiklopedia Alkitab, adat adalah suatu nilai yang disampaikan dari seseorang yang dianggap lebih di tua-kan, kepada orang yang lebih muda dalam kurun waktu yang sangat panjang. Sama dengan seorang guru kepada murid, atau orang tua kepada anak (Roma 10:17 dan Amsal 4:20).
Nilai-nilai adat tersebut diharapkan dapat menjadi "pagar", sekaligus pedoman bagi sang murid untuk mengambil keputusan, melakukan aktivitas, hingga urusan-urusan yang sangat pribadi. Misalnya pada saat memilih jodoh, memilih nama untuk anak, dan seterusnya.
Eksistensi adat terbukti semakin menurun
Fakta menunjukkan, belum ada satu lembaga yang terbentuk secara formal, untuk menangani urusan adat. Kecuali pada pribadi-pribadi yang dianggap lebih tua, dan paham adat. Sehingga sering terjadi kontroversi, bahkan di lingkungan internal gereja suku.
Perdebatan tersebut terjadi karena pemahaman yang tidak sama di antara sesama gembala Tuhan. Yang satu mengedepankan Injil, sementara yang satu adalah Adat. Akhirnya terjadi perpecahan. Dan, muncul kelompok yang menentang adat dalam gereja.
Oleh sebab itu, disimpulkan. Nilai-nilai adat sejauh ini tidak berhasil, dan tidak bisa dipertahankan. Khususnya warga gereja suku yang tinggal di kota. Karena, tanpa kehadiran teknologi canggih pun, internal gereja suku masih ada yang belum memutuskan sejauh mana peran adat dalam kegiatan/program gereja.
Dampak dari pada itu, sebagian yang menentang tidak lagi melaksanakan adat istiadat. Sementara yang memegang teguh nilai-nilai adat, tetap menjalankan. Akhirnya pelayanan, kesaksian, dan persekutuan gereja tidak berjalan dengan baik. Tapi, telah mengarah pada perpecahan. Setidaknya dalam visi dan misi.
Cara menyatukan persepsi tentang adat dan Injil
Penting disepakati lebih dulu, Injil dan adat mana pun tidak bertentangan. Justru, bisa saling melengkapi. Sebab, Injil dan adat sama-sama memuat tentang tatanan hidup masyarakat, dan menempatkan warga pada posisi penerima, sekaligus pelaku.
Adat yang bersifat ke-daerah-an (regional), akan lebih mudah beradaptasi, dan di adopsi oleh agama mana pun. Oleh sebab itu, perannya harus di bawah aturan agama.
Kaitan adat dengan Injil. Yang perlu diperhatikan adalah alamat puji-pujian dan syukur. Jangan lagi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Atau, religi lama yang diterapkan leluhur. Tapi, kepada Allah Bapa sang Pencipta langit, dan bumi.
[Refleksi] Dampak teknologi digital terhadap perkembangan gereja suku
Merujuk pada pernyataan DR.Lothar Scheiner, dalam bukunya yang berjudul: Pengaruh Injil dalam adat Batak. Mengatakan para utusan Zending dari dunia Barat tidak boleh merampas adat leluhur orang Asia dan Afrika yang sudah menjadi Kristen.
Benar hal itu sampai hari ini hal tersebut tidak terjadi. Dan, ancaman tidak datang dari dunia Barat (Misionaris Barat). Tapi, datangnya dari dunia maya. Masyarakat global, dan modernisasi. Terbukti secara tidak langsung, dan lambat laun telah mengikis semangat lokal gereja suku yang dibangun atas dasar adat istiadat dan budaya.
Lalu, apakah kita menyalahkan kemajuan zaman?. Sehingga, tidak perlu menggunakan teknologi dalam semua kegiatan gereja?. Apakah program gereja bisa berjalan bagus, kalau tetap mempertahankan metode pelayanan yang lama?.
Hemat penulis, mengenai hal ini pun belum semua pemuka agama Kristen sepaham. Terbukti pada saat Pandemi Covid-19 melanda dunia. Lalu, semua kegiatan gereja dilakukan melalui online. Dengan menggunakan aplikasi Zoom, Google Meet, dan sebagainya. Termasuk pada saat ibadah minggu.
Saat itu, seorang pendeta saya yang sedang mengambil study S2 mengatakan Virtual Zoom dapat disamakan dengan sebuah Altar gereja. Oh, my God. Semudah itukah membuat sebuah Altar?.
Dengan tegas saya membantah; Altar adalah satu-satunya tempat paling suci dalam gedung gereja. Dan, tidak boleh disetarakan dengan Virtual Zoom, atau aplikasi ibadah online lainnya. Sebab kita tidak tahu sejauh mana kesucian aplikasi, jaringan internet, dan provider yang menyediakan jaringan. Oleh sebab itu, jangan mudah menyebut suatu tempat sebagai Altar. Sekalipun sifatnya sementara.
Puji syukur metode ibadah online tidak berlangsung lama. Namun, permasalahan mengenai posisi adat dalam Injil tetap belum sepenuhnya menemui titik terang hingga saat ini. Sisi lain, teknologi digital semakin berkembang pesat. Membuat umat Kristen semakin terlena akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai umat pilihan. Karena sudah menjadi bagian dari masyarakat plural/global.
Posting Komentar untuk " Pendekatan Teologis Tentang Injil, Adat Dan Masyarakat Global "